Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan teman smp saya, yang sekarang menjabat sebagai konsultan sementara sebuah perusahaan pengembangan sistem informasi di kota Jogjakarta. Dalam suasana pembicaraan antar teman akrab yang jarang bertemu, saya kembali mendengar sebuah keluhan dan ketakutan dari teman saya tentang diskriminasi dalam karir.
Teman saya itu dulu memegang jabatan manajerial di perusahaan yang sama dengan saat ini, sambil menyelesaikan S2nya. Entah kenapa, saya mendapati namanya dalam tes rekrutmen suatu perusahaan negara yang terkenal di negeri ini. Saya tahu ayahnya bekerja dalam perusahaan tersebut, tapi saya yakin dia pasti diterima di perusahaan tersebut karena dia memang orang yang pintar sejak SD. Ayahnya bukanlah pemegang jabatan tinggi di perusahaan tersebut, meskipun kata teman saya, ayahnya sudah lama sekali bekerja disana.
Prakiraan saya cukup tepat, akhirnya teman saya itu lolos seleksi akhir yaitu wawancara di Jakarta. Tapi kemudian, saya mendengar hal yang paling mengejutkan, ternyata dia menolak bekerja di perusahaan tersebut. Ada apa ya? saya bertanya dalam hati. Keputusannya itu telah mengakibatkan dia sedikit goyah, dia harus menerima kekecewaan dari ayahnya, dia juga harus kehilangan jabatan manajerial di perusahaan yang lama. Kenapa? Bukankah perusahaan negara yang terkenal besar itu memiliki prospek yang sangat cerah bagi karirmu? Dia hanya menggeleng, dan menjelaskan singkat, bahwa bagi orang yang beragama minoritas di negeri ini, tidak akan mungkin sampai pada jabatan tinggi dalam perusahaan tersebut. “Kamu tahulah… ” jawabnya. … hehe.. Saya pernah dengar tentang itu.. diskriminitas minoritas dalam karir.
Lalu seorang teman saya lulusan S1 Manajemen Ekonomi, pernah juga bercerita mengapa dia memilih bekerja di bank yang menurut saya sih kecil dibandingkan bekerja di suatu bank besar di negeri ini juga. Jawabnya cepat “saya orang jawa… paling banter karir saya hanya sebagai kasir di bank itu?” Padahal teman saya itu sejak SMA memiliki nilai kepemimpinan yang lebih menurut saya, kemampuan manajerial organisasinya sudah terlihat menonjol waktu SMA. Mungkin anda sudah bisa menebak nama bank yang dimaksud dalam tulisan ini… terkenal dengan diskriminasi ras dalam karir.
Lain lagi cerita teman saya, yang mempunyai impian untuk bekerja di perusahaan x. Impiannya kandas, karena dia tidak pernah diterima di perusahaan tersebut, padahal prestasinya sangat memuaskan di kampus dulu. Akhirnya teman itu sadar, bahwa sebagian besar yang diterima di perusahaan tersebut berasal dari salah satu universitas terkenal di Indonesia. Hmm.. diskriminasi almamater dalam karir?
Diskriminasi dalam karir memang bukanlah hal yang luar biasa, namun hal ini sudah menjadi suatu kewajaran di mana-mana, bukan hanya di Indonesia saja. Bentuknya pun bisa bermacam-macam, dari mulai penerimaan sampai pada pembatasan tingkatan karir. Diskriminasi secara psikologi memang adalah suatu perilaku yang wajar, yang merupakan bentuk perilaku dari adanya suatu bias persepsi manusia dalam keberpihakan pada kelompok sosialnya.
Diskriminasi dalam karir cenderung mengesankan ketidakadilan bagi orang-orang yang dilahirkan dengan ras tertentu, atau menganut agama tertentu. Hanya karena perbedaan suatu kelompok, maka orang tidak bisa mengaktualisasikan prestasinya dalam suatu karir. Orang hanya dilihat dari label kelompok sosial, tanpa dipandang kemampuan kerja dan prestasinya. Ketidakadilan ini terpaksa diterima oleh orang-orang yang menjadi korban diskriminasi.
Hal yang paling menyakitkan adalah ketika seseorang berada dalam posisi minoritas, sejak kecil dia sudah mengalami diskriminasi, dikucilkan dari teman-teman mayoritasnya. Belum lagi, saat mencari sekolah, dan akhirnya saat mencari kerja. Sungguh suatu perjuangan mental yang menurut saya sangat berat, perlu ketabahan dan keuletan luar biasa. Jadi jangan heran, bila orang-orang minoritas justru bertambah kreatif dan berkualitas dibandingkan mayoritas. Saat ini saja, mungkin nasib perekonomian Bangsa Indonesia justru di tangan minoritas, bukan mayoritas.
Namanya juga ketidakadilan, tidak semua orang bisa menerima diskriminasi, baik minoritas maupun mayoritas kelompok. Diskriminasi tentu akan berbuah suatu perasaan kesal, kecewa dan bahkan kemarahan yang tak tertahankan. Mungkin latar belakang inilah, jawaban dari kasus yang baru saja terjadi :
Briptu Hance Diduga Sakit Hati Akan Dimutasi ke Polres Kendal
Usai Bunuh Wakapolwil, Briptu Hance Juga Tewas Ditembak
Sistem Pembinaan Personel Polisi Rawan Diskriminasi
Bias dan keberpihakan dalam kelompok memang sulit dihilangkan, bahkan mungkin tak akan pernah ada manusia yang tidak berpihak pada kelompok sosialnya. Namun bukankah diskriminasi adalah suatu bentuk perilaku manusia? Bentukan perilaku yang dapat dirubah atau dihilangkan atas nama keadilan dan kesetaraan sebagai sesama manusia. Akhirnya semua kembali pada masyarakat dan sistem sosialnya, apakah berani meninggalkan budaya diskriminasi untuk memberikan kesempatan yang lebih luas dalam aktualisasi prestasi kerja? Semoga saja Presiden RI mendatang bisa merubah sistem sosial yang cenderung diskriminasi di perusahaan negara saat ini.
*sssst.. hehe.. saya tak mungkin jadi presiden RI.. tertulis di undang-undang… tenang aja!
Tags: diskriminasi, indonesia, karir, refleksi, sosial
Mood :
Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Anda tidak perlu mengcopy-paste keseluruhan artikel ini dan meletakkan di blog Anda, gunakanlah cara yang lebih elegan yaitu dengan pengutipan yang dilengkapi sumber informasi ataupun menggunakan alat kliping online seperti :
Anda juga tidak perlu memindahkan tulisan blog Anda di komentar blog ini, gunakanlah alamat trackback ini untuk menghubungkannya.
Terima kasih, semoga membawa manfaat.