Setahun yang lalu, 27 Mei 2006 5:55 WIB, sebuah gempa bumi besar kembali menghancur leburkan salah satu wilayah di negeri ini. Gempa bumi berkekuatan 5.9 SR itu menguncang-guncang bumi Yogyakarta dan sekitarnya selama hampir 1 menit. Ribuan jiwa melayang, ribuan bangunan runtuh, ribuan orang jadi korban luka dan jutaan orang menjadi korban trauma.

Bapak kehilangan anak, ibu kehilangan bapak, dan anak kehilangan bapak dan ibunya. Lolongan tangisan terdengar diantara bangkai-bangkai manusia yang tertimpa runtuhan. Kehilangan benda dan kehilangan nyawa tak lagi penting dibedakan. Rasa sakit atas tubuh bercampur aduk dengan rasa sakit jiwa.
Tidak cukup sampai disitu saja, gempa ini ternyata menyebar dengan cepat, bahkan daya jangkaunya sampai ke pelosok-pelosok negeri di dunia. Manusia Indonesia pun kembali mengalami gempa besar.
Orang-orang asing dari pelosok dunia yang juga tergetarkan oleh gempa Jogja segera datang membantu. Semua tenaga, semua peralatan canggih dibawa meski mungkin tak bakal kembali lagi.
Namun bangsa yang picik dan congkak hati ini memang tak pernah belajar bahwa bangsa lain datang atas kemanusiaan. Bangsa munafik ini tak mau terbuka menerima mereka dengan alasan politik dan dendam agama. Lalu mengapa tenda-tenda dari bangsa-bangsa asing yang konon jadi musuh agamanya malah dipakai oleh ribuan orang, rumah-rumah sakit darurat orang asing bahkan lebih diminati karena tak berbayar dan canggih? Malahan bangsa kita lebih percaya dibodohi oleh negara-negara sahabat dengan janji-janji bantuan yang sampai sekarang tak tahu kabar beritanya.
Gempa besar kembali melanda manusia Indonesia. Pemerintah bingung dengan birokrasi seabrek dalam menyalurkan bantuan di daerah bencana yang luas. Media – media massa cari muka dan kejar rating dengan menciptakan opini publik yang plin-plan. Tokoh-tokoh politik adu pendapat mencari kambing hitam untuk disalahkan. Para selebritis sibuk dengan shooting di lokasi gempa untuk menaikkan popularitas. Para rohaniwan dan ulama rajin mencari pembenaran menurut ajaran agamanya masing – masing.
Sementara ribuan masyarakat dari kota lain datang berkunjung dengan dalih wisata gempa sambil beramal. Tak mau kalah, penjahat dan pencuri berebutan beroperasi di daerah gempa, merampas dan mengambil barang-barang yang tersisa. Korban gempa yang selamat pun tak mau kalah untuk mengemis dan menjarah bantuan.
Gempa juga melanda diri pemuda, mahasiswa dan pelajar di kota Jogjakarta. Mereka tak berpikir lama-lama untuk menyingsingkan lengan baju menjadi relawan-relawan kemanusiaan. Mereka tak pernah menyerah melayani meski jarak dan cuaca menghadang.
Mereka tak lagi sempat berpikir akan popularitas, mencari siapa yang salah, atau membuat opini publik, mereka bukan orang yang punya kuasa dan harta, bahkan demo pun mereka tak sempat. Mereka hanyalah orang-orang yang memiliki hati dan merelakan diri atas nama kemanusiaan.
Gempa jogja adalah gempa kemanusiaan yang menggetarkan setiap hati untuk turut terpanggil atas nama kemanusiaan. Sayang, meskipun goncangannya kuat terkadang kita acuh tak acuh, terkadang segolongan orang malah memanfaatkan panggilan ini untuk kepentingan yang lain, untuk keuntungan diri mereka sendiri bukan atas dasar kemanusiaan yang tulus.
Gempa Jogja mungkin juga adalah gempa jiwa dan juga gempa iman dalam diri manusia Indonesia secara umum dan manusia Jogjakarta secara khusus.
Gempa jiwa dengan tingkat kekuatan dan kerusakan sesuai dengan ketahanan jiwa masing-masing. Ada yang masih bisa tersenyum bersyukur lalu bersiap memulihkan jiwa, ada yang menangis berhari-hari, ada yang trauma dan depresi, ada yang kehilangan akal pikir (gila), dan yang terparah adalah kehilangan makna kehidupan itu sendiri (bunuh diri).
Selain gempa jiwa, juga adalah gempa iman yang mengoncang-goncang iman keyakinan kita. Dimanakah Tuhan yang Maha Pengasih Peyayang dan Maha Kuasa, Penguasa Alam? Dimanakah Tuhan yang mengasihi umatNYA?
Bicara tentang Tuhan dan bencana membuat kita terjebak dalam pembenaran-pembenaran agama untuk menghibur diri. Ada yang membenarkan bahwa semua yang meninggal dalam gempa bumi Jogja akan masuk surga. Ada yang bilang bahwa Tuhan sedang menegur dan menghukum kita. Mana buktinya?
Bukankah selama ini kita belajar bahwa terkadang Hukum Tuhan dan Hukum Alam berjalan dalam kuasanya sendiri-sendiri. Jika Tuhan memang mengasihi umatNYA, mengapa membiarkan gempa terjadi pada pagi hari, justru ketika sebagian besar orang baru saja beribadah? Bukankah ini terjadi karena lempeng bumi memang berada dalam waktunya untuk bergeliat pagi itu.
Iman tanpa akal sehat adalah konyol ! Gempa bumi Jogja yang diikuti oleh isu tsunami yang kabarnya sampai membuat warga Kota Klaten panik, bahkan warga di lereng Merapi (Jalan Kaliurang) juga. Bukankah pantai Selatan itu dikelilingi oleh perbukitan, bukankah jarak antara pantai selatan dengan Kota Klaten sangat jauh? Bukankah jalan kaliurang itu berada di lereng Merapi?
Iman tanpa akal sehat membuat kita berlari seperti seekor anjing yang ikut berlari melihat kawanannya berlari. Gempa Jogja membuat saya sendiri berefleksi atas keimanan saya. Apakah iman saya hanya karena ikut-ikutan sekawanan orang yang berlari ke arah tertentu?
Beberapa bulan setelah menjadi seorang relawan gempa Jogja, adek kelas saya bunuh diri. Dia marah dengan Tuhan, mempertanyakan Tuhan atas penderitaan ratusan orang di desa tempatnya berkarya. Gempa itu juga melanda iman yang selama ini diyakininya, yaitu Tuhan Maha Kasih. Bangunan imannya roboh, dan hasrat hidupnya terkubur bersama reruntuhan bangunan diri.
Apakah marah dengan Tuhan tidak diperbolehkan? Saya sendiri sering protes dan marah kepada Tuhan. Saya juga tidak konsisten untuk mengasihiNYA. Namun senyatanya bahwa Ia selalu menunjukkan konsistensinya untuk mengasihi saya dalam perjalanan hidup yang saya lalui.
Manusia akan selalu digoncang oleh gempa-gempa dalam diri, gempa Jogja mungkin hanyalah salah satu dari gempa pemicu gempa-gempa dalam diri kita. Tak hanya gempa, bencana-bencana lain pun sudah kerap dan akan terjadi melanda negeri Indonesia, juga melanda diri manusia Indonesia.
Siapkah kita bersikap menghadapinya? Siapkah kita memenuhi panggilan kemanusian dengan tulus? Siapkah kita bangkit kembali ketika semua bangunan diri kita runtuh? Siapkah kita belajar memaknai kehidupan?
Tuhan tak pernah menjanjikan langit selalu biru, matahari tanpa hujan, bunga yang bertaburan, sukacita tanpa kesedihan, dan kedamaian tanpa penderitaan. Tapi Tuhan menjanjikan kekuatan untuk menempuh hari-hari hidup kita, terang untuk berjalan dalam gelap, rahmat untuk mengatasi percobaan, dan kasih yang tak kunjung padam pada setiap orang yang percaya kepadaNYA.
Mari bersama kita bangkit,
memulihkan jiwa …. dan memperbaiki iman …..
agar dapat memaknai kehidupan lebih baik lagi… sampai ajal menjelang.

*tulisan ini terinspirasi dari refleksi Mas Dhani Darmawan yang dibawakan dalam misa ekaristi peringatan 1 tahun Gempa Jogja di Gereja Antonius Kota Baru Yogyakarta (Minggu, 27 Mei 2007)
Tulisan lain tentang Gempa Jogja :
Jogja dalam Exodus
Gempa Bumi Jogja : Bencana Moralitas
Bantuan Emosional Untuk Korban Gempa Bumi Jogja
Mendampingi Anak Pasca Trauma Gempa Bumi Jogja
Banyak Jalan Membantu Korban Gempa Bumi Jogja
Kisah Memilukan Gempa Bumi Jogja
Cerita Seorang Blogger Korban Gempa Jogja
Perjalanan Panjang Sebuah Retret KMK
Tags: gempa bumi, indonesia, refleksi, sosial, yogyakarta
Mood :
Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Anda tidak perlu mengcopy-paste keseluruhan artikel ini dan meletakkan di blog Anda, gunakanlah cara yang lebih elegan yaitu dengan pengutipan yang dilengkapi sumber informasi ataupun menggunakan alat kliping online seperti :
Anda juga tidak perlu memindahkan tulisan blog Anda di komentar blog ini, gunakanlah alamat trackback ini untuk menghubungkannya.
Terima kasih, semoga membawa manfaat.